Sunday, July 14, 2019

10 HENTIKAN PERTELINGKAHAN


SYI’AH-SUNNI YANG PENTING JUMPA ALLAH (Bhgn 1)

Setelah Abu Bakar dipilih menjadi khalifah, Abu Sufyan datang menghadap Ali bin Abi Thalib RA. Dengan penuh kemarahan ia berkata,”Mengapa kekhalifahan diserahkan kepada orang yang paling rendah status dalam kabilah Quraisy dan orang yang paling terhina (Abu Bakar RA)”.

Kemudian ia melanjutkan kata-katanya dengan rasa marah, “Demi Allah, jika kamu izinkan, aku akan kumpulkan kuda dan orang-orang untuk memeranginya.”

Akan tetapi Imam Ali kw menjawab,”Wahai Abu Sufyan, selama ia menjaga Islam dan pemeluknya, maka tidak apa-apa jika ia yang memegang kekhalifahan. Dan aku menilai bahwa Abu Bakar adalah orang yang layak untuk menjadi khalifah”. (lihat Al-Haakim juz 3, hal. 78).

Sungguh luar biasa sikap para sahabat Nabi SAW yang bisa saling menghormati dan tidak gila kekuasaan seperti yang ditunjukkan oleh Imam Ali kw. Sangat berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh orang-orang yang merasa menjadi pengikut Beliau, merasa menjadi pembela Ahlul Bait akan tetapi yang tertanam dalam hati hanya kebencian dan dendam berkepanjangan dan diwariskan dari generasi ke generasi sampai hari ini. Kekejaman Muawiyah bin Abu Sufyan beserta Dinasti Umayyah nya terhadap keluarga Nabi menimbulkan kepedihan berkepanjangan dan kemudian tanpa disadari menyebabkan perpecahan dalam ummat Islam.

Saya dan juga pengamal Thareqat Naqsyabandi lain nya bukan lah orang-orang yang terikut dalam pertentangan tersebut. Oleh Guru saya diajarkan bahwa semua sahabat Nabi itu adalah orang-orang pilihan yang sangat berjasa dalam mengembangkan Agama Islam. Seluruh Thareqat yang ada saat ini bersumber kepada dua sahabat yaitu Abu Bakar RA dan Ali Bin Abi Thalib kw.

Dalam Do’a Pusaka yang selalu dibacakan disaat penutupan suluk/’itikaf didalamnya selalu disebutkan 4 wali utama yaitu Syekh Abdul Qadir Jailani dan Syekh Junaidi Al-Bahgdadi yang silsilah Thareqatnya bersambung kepada Imam Ali kw serta Syekh Abu Yazid Al-Bisthami dan Syekh Bahauddin Naqsyabandi yang silsilah Thareqatnya bersambung kepada Saidina Abu Bakar RA.

Mempertentangkan Syi’ah dan Sunni dalam bingkai Thareqat merupakan suatu tindakan yang kurang bijaksana karena Thareqat itu telah melampaui paham-paham syariat yang dikembangkan oleh kedua aliran. Bisa jadi seorang pengamal Thareqat Qadiriah yang silsilahnya bersambung kepada Imam Ali kw tidak ikut aliran syiah dan juga sebaliknya bisa jadi pengamal Thareqat Naqsyabandi yang silsilahnya bersambung kepada Abu Bakar RA ikut kepada paham Syi’ah, itu merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sufi Muda bukanlah forum untuk membela Sunni meskipun pelaksanaan syariatnya tunduk kepada Mazhab Imam Syafi’i sebagai mazhab yang paling banyak pengikutnya di Indonesia. Biarlah pertentangan masa lalu itu terkubur bersama sejarah karena orang-orang yang berlaku tidak adil terhadap Ahlul Bait yang mulia pun telah di azab oleh Allah SWT.

Terakhir, jika kita masih mempertentangkan antara Syi’ah dan Sunni dalam bingkai Thareqat menandakan bahwa kita  belum mengerti sepenuhnya apa itu Thareqat karena sesungguhnya Thareqat itu adalah murni metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, Allah nya orang Sunni dan Allah nya orang Syi’ah, dan sudah pasti Allah nya Nabi Muhammad SAW. Dari pada memperdebatkan jalan mana yang paling cepat sampai kepada-Nya lebih baik jalani salah satu jalan (thariq) dan setelah sama-sama sampai di Taman Surga marilah kita saling senyum dan bertegur sapa, marilah kita sama-sama melayani-Nya dengan senang hati. Semoga Allah SWT akan memberikan kesempatan kepada kita semua untuk terus bisa memandang wajah-Nya dari dunia sampai ke akhirat kelak, Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Sunni-Syiah Yang Penting Jumpa Allah (Bhg 2)

Selama Islam masih eksis di dunia ini maka selama itu pula pertentangan dua kubu besar dalam Islam yaitu Sunni dan Syiah akan terus ada. Ibarat dua lingkaran dengan dua warna kontras, seperti hitam dan putih atau merah dan kuning, keduanya tidak bisa disatukan. Namun dalam ilmu matematika kedua lingkaran berbeda tersebut ada titik temu, dinamakan daerah Arsiran, pertemuan kedua lingkaran berbeda warna akan membentu warna baru, warna yang mengikat keduanya dengan kuat.

Sebelum kita membahas titik temu keduanya, ada baiknya untuk sementara kita keluarkan dulu wahabi/salafi dari golongan sunni agar lebih adem, karena kelompok ini baru muncul 100 tahun lalu, aliran ini bisa jadi tetap ada ikut mewarnai Islam atau nanti akan hilang seiring dengan perkembangan zaman, sama halnya dengan aliran khawarij yang muncul di awal perkembangan Islam dan sekarang hilang tertiup angin. Kita juga keluarkan kelompok ekstrim Syiah yang senang mencaci para sahabat dan juga Istri Nabi dari kelompok Syiah dengan tujuan agar lebih adem, karena kita sedang mencari titik arsir keduanya.


Pertanyaan menarik, apa kira-kira daerah arsir yang mempertamukan antara Sunni dan Syiah. Dari segi jumlah, penganut sunni jauh lebih besar dari Syiah, 90% berbanding 10% (Wikipedia). Titik temu utama kedua golongan yang sudah ada sejak zaman dulu ini adalah keduanya menyembah Allah dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi/Rasul mereka. Inilah titik pertemuan paling akrab dari kedua aliran ini.

Dalam pengantar buku Islam Syiah, Asal Usul dan Perkembangannya yang ditulis oleh Allamah M.H. Thabathaba’i, profesor studi Islam di Universitas George Washington Amerika Serikat, Seyyed Hossein Nasr, 79, mengatakan ada lima prinsip agama atau ushuluddin Islam Syiah, yaitu:

Tauhid, yakni kepercayaan kepada keesaan Ilahi
Nubuwat, yakni kenabian
Ma’ad, yakni kehidupan akhirat
Imamah atau keimanan, yakni kepercayaan adanya imam-imam sebagai pengganti nabi
Adil atau Keadilan Ilahi.
Menurut Nasr, dalam tiga prinsip dasar, yakni Tauhid, Nubuwat, dan Ma’ad, Sunni dan Syiah bersepakat.

“Hanya dua prinsip dasar yang lain, yakni Imamah dan Keadilan, mereka berbeda,” ujar dia. (Tempo)

Prof Quraish Shihab dalam Buku Sunnah-Syiah, Bergandengan Tangan, Mungkinkah? Menulis :

Secara umum ada dua kelompok umat Islam dengan jumlah pengikut yang besar yaitu kelompok Ahlussunnah wa al-Jamaah dan kelompok Syiah.

Kelompok pertama secara harfiah dari kata Ahl as-sunnah adalah orang-orang yang konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad. Baik dalam tuntunan lisan maupun amalan serta sahabat mulia beliau. Golongan ini percaya perbuatan manusia diciptakan Allah dan baik buruknya karena qadha dan qadar-Nya. Kelompok Ahlussunah juga memperurutkan keutamaan Khulafa’ar-Rasyidin sesuai dengan urutan dan masa kekuasaan mereka.

Shihab mengaku kesulitan untuk menjelaskan siapa saja yang dinamai Ahlussunah dalam pengertian terminologi. Secara umum, melalui berbagai pendapat, golongan ini adalah umat yang mengikuti aliran Asy’ari dalam urusan akidah dan keempat imam Mahzab (Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan Hanafi).

“Sebelum memulai dengan siapa Syiah, perlu digarisbawahi, kelompok Syiah pun menamai diri Ahlussunah,” ujar dia. Tapi definisinya tentu berbeda. Syiah memang mengikuti tuntunan sunah Nabi, tapi ada sejumlah perbedaan bentuk dukungan dan tuntunan itu.

Muhammad Jawad Maghniyah, ulama beraliran Syiah, mendefinisikan tentang kelompoknya. Syiah yang secara kebahasaan berarti pengikut, pendukung, pembela, dan pecinta ini adalah kelompok yang meyakini bahwa Nabi Muhammad telah menetapkan dengan nash (pernyataan yang pasti) tentang khalifah beliau dengan menunjuk Imam Ali.

“Definisi ini hanya mencerminkan sebagian dari golongan Syiah, tapi untuk sementara dapat diterima,” kata Shihab.

Perbedaan antara Syiah dan Ahlusunnah yang menonjol adalah masalah imamah atau jabatan Ilahi. Khususnya ada tiga hal pokok yang diyakini Syiah dan ditentang Ahlussunnah. Ketiganya adalah pandangan tentang Nabi belum menyampaikan seluruh ajaran/hukum agama kepada umat, imam-imam berwenang mengecualikan apa yang telah disampaikan Nabi Muhammad SAW, dan imam-imam mempunyai kedudukan yang sama dengan Nabi dalam segi kemaksuman (keterpeliharaan dari perbuatan dosa, bahkan tidak mungkin keliru dan lupa).

Keberatan itu, tulis Shihab, tertuang dalam buku karangan Syaikh Abu Zahrah berjudul Tarikh al-Maadzahib al-Islamiyah. Bagi kaum Syiah, imam yang mereka percayai ada dua belas orang jumlahnya. Mulai dari Imam Ali hingga Imam Mahdi. Mereka adalah manusia pilihan Tuhan yang kekuasaannya bersumber dari Allah.

Pemahaman tentang imamah dalam syiah ini mirip dengan kedudukan Mursyid dalam tarekat, dimana otoritas yang di miliki seorang Mursyid berasal dari Allah, dari Mursyid akan terdengar kembali kalam-kalam Allah yang Maha Hidup dan Maha Berkata-kata. Pengamal tasawuf apakah dia berasal dari sunni maupun syiah, tentu keduanya memiliki pemahaman yang sama tentang pemimpin Ilahi walau menyebutnya dengan istilah berbeda.

Akan tetapi, dalam pandangan Suni (pengamal tarekat), otoritas Ilahiyah tersebut tidak selamanya harus berasal dari Keturunan Nabi, karena Allah memberikan cahaya-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nur-35.

Pembahasan tentang sunni dan syiah dari perpekstif tasawuf sudah pernah saya tulis 7 tahun lalu dalam tulisan Sunni-Syiah Yang Penting Jumpa Allah dan tulisan ini mudah-mudahan bisa memberikan sedikit ketenangan di kalangan ummat di tengah informasi-informasi negatif tentang syiah di media sosial. Sudah menjadi sifat dasar manusia secara umum menyenangi informasi negatif, kebutuhan ini dijawab oleh pemilik media untuk menampilkan berita-berita sampah sebagai “makanan” fikiran manusia awam sehingga fikirannya semakin awam.
====================

Kebenaran Itu Tidak Ada!

Tanpa terasa tidak lama lagi kita memasuki bulan suci ramadhan, bulan yang ditunggu tunggu oleh ummat Islam di seluruh dunia. Kalau ibarat tanah, Ramadhan adalah ladang yang sangat subur, tanaman apapun yang ditanam disana akan memberikan hasil yang berlipat ganda. Sebulan dalam setahun ummat Islam diberi kesempatan oleh Allah untuk memperbaiki kekurangan dalam ibadah, sehingga ibadahnya menjadi sempurna.

Tadi pagi saya ikut gotong royong membersihkan mesjid, persiapan memasuki Ramadhan, mulai dari dalam mesjid sampai ke pekarangannya. Sejak saya lahir sampai tadi dan mungkin sampai akhir zaman, perdebatan tentang jumlah rakaat shalat tarawih selalu saja ada dan akan terus ada. Saya biasa melakukan shalat tarawih 20 rakaat, karena di lingkungan saya tinggal jumlah rakaat nya segitu, dan kalau saya berada di lingkungan masyarakat yang meyakini rakaat shalat tarawih 8 rakaat maka saya mengikutinya tanpa harus menambah lagi setelah pulang dari mesjid.

Perdebatan jumlah rakaat shalat tarawih sudah berlangsung sejak lama, kedua-dua nya mempunyai dalil yang kuat, semuanya bersumber dari hadist Nabi. Dari kedua versi, yang mana paling benar? Jawabannya adalah keduanya benar, atau keduanya tidak benar.

Sadar atau tidak, kebenaran itu TIDAK ADA. Seluruh manusia mempersepsikan kebenaran menurut ilmu yang diketahuinya, menurut input yang masuk ke dalam akal fikirannya. Bagi sunni, penganut syiah adalah sesat dan menyimpang dari agama, sedangkan bagi penganut syiah, sunni menyimpang dari agama, lahir dari produk politik masa lalu. Sunni dan syiah keduanya benar dan keduanya salah, tergantung anda memandang dari sudut pandang mana.

Apakah Islam agama yang benar? Bagi penganut agama Islam itu sudah jelas, Islam agama yang di ridhai Allah, bagi non muslim? Islam bukan agama yang benar, agama mereka yang paling benar. Bagi penganut ajaran wahabi/salafi, apa yang mereka yakini dan amalkan adalah yang paling benar, sedangkan bagi kelompok di luar mereka, wahabi/salafi adalah ajaran menyimpang dari agama, ajaran yang muncul 100 tahun lalu.

Kalau anda mencari kebenaran, maka sampai kapan pun anda tidak akan menemukan keberaran. Maksud saya, kalau kebenaran yang anda cari adalah kebenaran yang bisa diterima oleh semua orang, kebenaran tanpa ada yang mengingkari.

Kebenaran dalam bahasa Arab adalah Haqq, merupakan nama dari Allah Al-Haqq (Maha Benar), itu sebabnya di dunia ini tidak ada yang benar, sampai manusia menemukan al-Haqq.

Ketika manusia menemukan al-Haqq maka dia sudah tidak memerlukan lagi pengakuan dari makhluk, tidak memerlukan lagi dukungan atas apa yang diyakininya. Hatinya telah sibuk bersama Allah, dia sudah tidak lagi berada pada level persepsi yang merupakan produk akal. Manusia yang telah bersama Allah tidak akan bisa lagi menemukan kesalahan pada manusia lain, karena tidak telah mampu melihat seluruh jalan yang dilalui manusia untuk mencapai Tuhan. Karena telah berada di puncak piramida, maka dia mampu melihat seluruh sisi bangunan, mampu melihat kehadiran dan ketidakhadiran cahaya Allah pada diri masing masing individu manusia.

Pada level ini manusia tidak lagi memerlukan sebab, karena segala sesuatu terjadi semata-mata karena Allah. Tidak lagi terpengaruh oleh benar salah, pahala dan siksa, seperti ucapan ketidakpedulian Rabi’ah al-Adawiyah akan surga dan neraka. Bahkan kehidupan tidak lagi bisa diberi makna, karena mareka telah pasrah dalam genggaman Allah Ta’ala seperti bayi dalam pangkuan Ibu nya, tanpa berdaya apa-apa selain perlindungan dan kasih sayang sang Ibunda. Dalam kondisi ini lah Al-Halaj berkata, “hidup dan mati bagi ku sama saja”.

====================

Ketika Buya Hamka Mengimami Sholat Shubuh di Kediaman KH Abdullah Syafi’ie

Membaca tulisan yang saya kutip dari islampos.com dibawah ini membuat saya pribadi menjadi rindu akan sosok ulama kharismatik yang lebih mementingkan ukhwah islamiah dibanding ego pribadi, hal yang semakin lama semakin sulit di dapatkan. Maka menjadi benar pendapat yang mengatakan bahwa ketinggian ilmu seseorang bukan terletak banyak atau sedikit hal yang dia ketahui tapi terletak pada ahlak yang dimilikinya, silahkan di baca.

buya-hamka-abdullah-syafii_islampos-490x226ULAMA-ulama besar yang sudah menorehkan begitu banyak amal sholeh tak akan pernah mati—walaupun jasadnya sudah dikubur oleh tanah. Itulah yang selalu kita dapatkan dari sosok Buya Hamka dan KH Abdullah syafi’ie.

Siapa yang tidak kenal Buya Hamka, dengan perguruan Al-Azhar dan tafsirnya yang fenomenal? Dan siapa tidak kenal KH Abdullah Syafi’ie, pendiri dan pemimpin Perguruan Asy-Syafiiyah, yang umumnya kiyai Betawi pada hari ini adalah murid-murid beliau?

Meski Buya Hamka adalah tokoh Muhammadiyah, namun ia berkawan baik dengan tokoh NU seperti KH. Abdullah Syafi’ie, ulama kawakan yang juga dijuluki ‘Macan Betawi’ kharismatik.

Di antaranya kisah sederhana Buya Hamka dan KH. Abdullah Syafi’ie ialah toleransi dan lebih mengedepankan ukhuwah Islamiyah.

Kisah ini, sebagaimana yang diceritakan oleh putera beliau, Rusydi Hamka, adalah tentang persoalan khilafiyah seperti qunut, jumlah rakaat tarawih, maupun jumlah adzan shalat jum’at. Meski Buya Hamka boleh dibilang tokoh Muhammadiyah yang tidak mempraktikkan qunut pada shalat subuh, namun beliau menghormati sahabatnya, KH. Abdullah Syafi’ie, ulama yang menyatakan bahwa qunut shalat shubuh itu hukumnya sunnah muakkadah.

Buya Hamka jika hendak mengimami jamaah shalat subuh, suka bertanya kepada jamaah, apakah akan menggunakan qunut atau tidak. Dan ketika jamaah minta qunut, tokoh dan penasihat Muhammadiyah inipun mengimami shalat subuh dengan qunut.

Dalam kesempatan lain tentang masalah adzan dua kali. Suatu ketika di hari Jumat, KH. Abdullah Syafi’ie mengunjungi Buya di masjid Al-Azhar, Kebayoran Jakarta Selatan. Hari itu menurut jadwal seharusnya giliran Buya Hamka yang jadi khatib. Karena sahabatnya datang, maka Buya minta agar KH. Abdullah Syafi’ie saja yang naik menjadi khatib Jumat.

Yang menarik, tiba-tiba adzan Jumat dikumandangkan dua kali, padahal biasanya di masjid itu hanya satu kali adzan. Rupanya, Buya menghormati ulama betawi ini dan tahu bahwa adzan dua kali pada shalat Jumat itu adalah pendapat sahabatnya. Jadi bukan hanya mimbar Jumat yang diserahkan, bahkan adzan pun ditambahkan jadi dua kali, semata-mata karena ulama ini menghormati ulama lainnya.

Begitu pula tentang jumlah rakaat tarawih. Buya Hamka ketika mau mengimami shalat tarawih, menawarkan kepada jamaah, mau 23 rakaat atau mau 11 rakaat. Jamaah di masjid Al-Azhar pada saat itu memilih 23 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat tarawih dengan 23 rakaat. Esoknya, jamaah minta 11 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat dengan 11 rakaat. [hobat-habbatushauda]

=================

Salah Paham Tentang Tarekat.

Kalau anda memahami tarekat itu sebuah perkumpulan zikir maka anda boleh ikut atau tidak di dalamnya karena di dunia ini banyak perkumpulan-perkumpulan sejenis yang berbasis agama dan kalau anda memahami tarekat adalah kumpulan bacaan zikir yang dibacakan disaat tertentu maka anda boleh tidak bergabung di dalamnya karena anda bisa mengambil bacaan zikir yang lain tidak harus sama dengan apa yang diamalkan oleh orang-orang tarekat. Begitu pun kalau anda memahami tarekat sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah anda pun bisa berdalih bahwa dengan ibadah-ibadah yang ada anda bisa dekat dengan Allah. Lalu bagaimana kita memahami tarekat?


Tarekat tidak bisa dimaknai terpisah seperti di atas karena akan kehilangan makna yang sebenarnya. Tarekat berasal dari kata Tareqatulah atau jalan menuju kehadirat Allah SWT. Bahasa dulu dipahami sebagai jalan sedangkan dalam bahasa modernn lebih tepat disebut sebagai metodologi atau cara. Jadi tarekat adalah metodologi untuk melaksanakan ajaran agama secara benar sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah SWT.

Ketika Nabi masih hidup, metode untuk mendekatkan diri kepada Allah ini disebut Tariqatusirriah atau Jalan Rahasia dan kemudian menjadi cikal bakal istilah tarekat dan di zaman kemudian dikenal berbagai macam jenis tarekat. Kehidupan Nabi di mesjid bersama dengan orang-orang yang 24 jam tinggal bersama Nabi yang disebut Ahlussuffah itu adalah bentuk dari pelaksanaan tarekat yang sampai saat ini tetap dipertahankan.

Tujuan bertarekat tidak lain adalah bisa mengikuti sunnah Nabi secara zahir dan bathin dimana akhir zaman ini kebanyakan orang yang sibuk mengikuti sunnah Nabi secara zahir saja. Cara berpakaian, makan, minum dan kehidupan fisik Nabi dijadikan panutan itu bagus namun yang lebih bagus lagi adalah rohani kita bisa tersambung kepada rohani Nabi karena fisik dengan fisik akan terpisah oleh zaman sedangkan ruh dengan ruh tidak akan terpisah.

Kita bisa mengikuti gaya Nabi dalam segala hal tapi sudah pasti kita tidak akan bisa mengambil RASA yang dirasakan oleh Nabi. Kita bisa meniru shalat Nabi tapi getaran dada Nabi dan tangisan Beliau di dalam shalat tidak akan pernah bisa kita ambil karena itu bukan ranah fiqih atau syariat, itu adalah bagian tasawuf yang dipraktekkan lewat tarekat.

Manusia tidak akan bisa merindukan Allah kalau dia tidak mengenal dengan baik dan cara mengenal paling sempurna adalah lewat tarekat. Maka ketika tarekat di bid’ahkan saat itulah ummat Islam kehilangan kontak dengan Allah, itulah tujuan para orientalis dan yahudi lewat ajaran-ajaran yang disusupkan di dalam Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Di dunia ini hanya ada satu kelompok yang membid’ahkan bahkan mengharamkan tarekat dan tasawuf yaitu kelompok ciptaan orientalis yang menyusup ke dalam Islam. Kelompok ini pula yang melarang kita mewujudkan cinta kepada Nabi lewat berbagai bentuk seperti maulid dan pujian kepada Nabi. Ummat Islam ditakut-takuti dengan istilah menyeramkan yaitu SYIRIK.

Satu hal yang harus di sadari oleh ummat Islam bahwa inti sari dari beragama adalah ber AKHLAK. Akhlak itu tidak bisa dipelajari atau di tiru-tiru begitu saja. Anda ketika membaca hadist bahwa Nabi membuang duri dari jalan kemudian anda melakukan kebaikan itu dan anda merasa sudah mengikuti Nabi, anda keliru. Meniru 100% apa yang dilakukan Nabi tidak akan memindahkan apa yang ada di dalam dada Beliau. AHKLAK yang hakiki itu bukan di dapat lewat meniru apalagi hanya dengan modal membaca tapi di dapat dengan cara “MENDOWNLOAD” dari dada Nabi sehingga 100% murni anda terima.

Bagaimana cara Mendownloadnya? Dengan menghubungkan dada anda kepada anda Khalifah Rasulullah terakhir dan tersambung sanad dan rohaninya sehingga apa yang ada di dada Nabi akan berpindah ke dada anda. Cara inilah yang dipakai Nabi untuk mengubah akhlak masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang terpuji karena mereka mendapatkan getaran ilahiyah lewat dada Nabi.

Ketika tarekat anda tolak maka yang terjadi anda hanya bergaya saja mengikuti sunnah Nabi sedangkan di dada anda masih bersemayam setan yang dikutuk oleh Allah. Persis seperti orang buta huruf yang tidak tamat SD mencontoh gaya dokter dengan cara meniru fisiknya, memakai baju dokter dan peralatan dokter. Tampak luar dia persis seperti dokter tapi isi dalamnya tetap orang bodoh. Begitu juga orang yang meniru gerak gerik dan ibadah Nabi secara zahir tetapi di dalamnya….

======================

Rahasia Tetaplah Rahasia

Ketika saya membuat membuat blog ini menulis tentang tasawuf/tarekat tidak sedikit orang menentang baik dikalangan pengamal tarekat maupun orang yang memang menentang tarekat. Orang yang menentang tarekat dan tasawuf menyerang lewat dalil-dalil dengan begitu yakinnya mengklaim bahwa tasawuf adalah ilmu bid’ah yang tidak pernah diajarkan Rasulullah saw. Perdebatan panjangpun terjadi lewat komentar, email, YM dan ketika saya membuat akun Facebook, perdebatan itu berlangsung. Itulah awal-awal saya memulai blog ini dan pada akhirnya secara perlahan perdebatan itupun berkurang dan mulai terbangun sikap saling menghargai walaupun mereka tidak tetap tidak menyukai tarekat.

Saya bisa memahami perasaan orang-orang yang menentang tarekat, karena saya juga awalnya adalah orang yang sangat menentang tarekat, menentang dengan segudang dalil. Rasanya belum puas kalau belum menyampaikan dakwah kepada pengamal tarekat yang menurut saya adalah orang-orang bid’ah yang melakukan ibadah diluar apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Sikap menentang itu berubah total setelah saya bertahun-tahun berguru kepada Masternya Tarekat, berguru kepada Guru Mursyid yang benar-benar ahli di bidang tarekat dan tasawuf, akhirnya saya menyadari betapa saya merasa pandai dan ahli padahal saya tidak memahami sama sekali tentang tarekat. Saya mendapat informasi tarekat dari orang-orang yang membenci tarekat, buku-buku yang memang dibuat agar tarekat dibenci oleh seluruh ummat Islam.

Tahun 2008 dan 2009 adalah tahun dimana saya begitu rajin memposting hal-hal yang berhubungan dengan tarekat baik  tulisan sendiri maupun kutipan dari karya orang lain dan juga copy paste dari blog atau web lain. Dengan memposting info tentang tasawuf memberikan saya semangat dalam berguru, memperluas persahabatan dengan orang-orang yang mempunyai pemahanan yang sama.

Dikalangan pengamal tarekat sendiri tidak kurang kritik ditujukan kepada sufimuda. Sebagian menentang karena menganggap sufimuda dengan terang-terangan membuka hakikat yang selama ini menjadi rahasia dan dikawatirkan akan menimbulkan fitnah. Di kawatirkan orang awam yang salah mengartikan kata-kata hakikat dan akan menjadi senjata makan tuan. Lalu pertanyaan yang harus dijawab adalah apa sebenarnya hakikat? Apakah yang disampaikan lewat tulisan itu masih disebut hakikat atau itu hanya tulisan yang tidak ada hubungan sama sekali dengan hakikat.

Sebenarnya tidak ada larangan dalam Agama untuk menyampaikan sebuah ilmu asal cara menyampaikan bisa dimengerti oleh si penerima. Rasulullah saw memberikan nasehat, “Sampaikan sesuatu menurut kadar si penerima”. Sebenarnya apa yang saya tulis (saat ini sudah 300 tulisan) di sufimuda bukanlah hakikat apalagi makrifat. Saya hanya menulis sesuatu yang memang boleh di tulis dan disebarkan. Apa yang ditulis di dalam kitab-kitab tasawuf klasik jauh lebih mendalam dan berani bahkan akan dianggap aneh oleh orang-orang yang tidak pernah mendalami tasawuf sama sekali.

Setiap Guru Sufi memberikan aturan dan larangan yang berbeda kepada muridnya. Syekh Bahauddin Naqsyabandi semasa Beliau hidup melarang para murid untuk mencatat ucapan dan nasehat Beliau termasuk melarang murid-murid Beliau menulis riwayat hidup dan sejarah berguru Beliau. Beliau beranggapan biarlah ajaran-ajaran Beliau itu tersimpan di hati para murid dan kemudian diteruskan dihati kegenarasi selanjutnya tanpa dirusak oleh tulisan yang kadang kala berbeda dengan makna sebenarnya. Berbeda dengan Syekh Abdul Qadir Jailani, seluruh ucapan dan petuah Beliau secara harian ditulis oleh para murid dan kemudian dibukukan dengan tujuan agar apa yang beliau sampaikan bisa diterima oleh orang-orang yang tidak pernah berjumpa dengan Beliau. Kedua prinsip Syekh Besar tersebut menjadi dalil dan alasan yang sama-sama benar.

Guru saya melarang para muridnya menulis tentang kaji-kaji dalam tarekat mulai dari kaji dasar sampai dengan khalifah. Kenapa? Karena di kawatirkan dibaca oleh orang awam dan mempraktekkan tanpa Guru Mursyid yang membuat orang akan tersesat karena setan akan sangat mudah menyusup di setiap amalan yang di amalkan tanpa izin. Sementara Syekh lain termasuk Syekh Jalaluddin dengan terang-terangan menulis seluruh kaji dalam suluk dari Ismu Dzat sampai dengan Dzikir Tahlil dan beberapa kitab lain termasuk bahan referensi di Universitas menulis semua kaji-kaji dan amalan di dalam Tarekat. Syekh Muhammmad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Allam al-Ghuyub yang menjadi rujukan para pengamal Tarekat di seluruh dunia membahas secara luas tentang hadap dan tata cara suluk tetapi disana tidak ditulis jenis-jenis amalan karena di kawatirkan akan diamalkan oleh orang yang tidak memiliki Mursyid.

Apa yang dialami oleh orang-orang yang telah tenggelam dalam Hakikat akan menjadi rahasia sepanjang hidupnya dan tetap akan menjadi rahasia selamanya sebab kalau diungkapkan maka itu bukan lagi sebuah rahasia. Menariknya ilmu hakikat adalah walaupun diungkapkan secara terang-terangan maka itu tetap menjadi sebuah rahasia bagi orang yang belum mencapai kesana. Al-Qur’an mengungkapkan secara terang-terangan bahkan sangat jelas membahas tentang hakikat Tuhan, tapi apakah semua orang yang membaca Al-Qur’an mencapai tahap makrifat? Jawabannya tidak karena Ayat-ayat Al-Qur’an penuh dengan symbol yang hanya bisa dimengerti oleh orang yang telah terbuka hijabnya.

Begitu terang-terangan Rasulullah SAW lewat hadist Beliau menjelaskan tentang hakikat, bahkan sangat terang, tapi karena umumnya yang membaca tidak terbuka hijab, ucapan Nabi yang demikian terbuka malah ditasfirkan secara keliru oleh akal manusia yang memang tidak sampai pemahaman disana akhirnya rahasia tersebut tetap menjadi rahasia.

Beberapa ucapan sahabat yang menggambarkan betapa rahasianya Ilmu Hakikat itu antara lain ucapan Abu Hurairah, “…Apabila aku ceritakan niscaya Halal darahku”, apabila hakikat itu diceritakan dengan bahasa salah maka nyawa sebagai taruhan. Atau ucapan saidina Husaen ra, “Apabila aku jelaskan hakikat itu kepada kalian niscaya kalian akan menuduh aku sebagai penyembah berhala”. Orang yang telah mencapai kaji disana akan tersenyum membaca ucapan dari saidina Husein, dan andai hakikat itu dibuka di zaman sekarang pasti orang akan menuduh yang sama yaitu dianggap orang yang mengamalkan hakikat itu sebagai penyembah berhala.

Sungguh luar biasa Allah melindungi ilmu-ilmu berharga tersebut demikian  rahasianya, ditempatkan di dalam qalbu para hamba-Nya sehingga tidak seorangpun bisa mengambilnya. Allah telah melindungi ilmu-ilmu berharga tersebut dengan hijab (penghalang) cahaya sehingga manusia tidak akan melihat karena begitu terangnya cahaya tersebut. Rahasia itu hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang telah bermandikan cahaya, larut dalam Dzat-Nya sehingga apa yang menjadi rahasia tidak lagi menjadi rahasia.

Apa yang saya sampaikan disini bukanlah hakikat, tapi tulisan-tulisan untuk memberikan semangat kepada kita semua untuk mencari kebenaran, mencari pembimbing yang menuntun dan membimbing kita semua kepada Allah. Dengan mendapat bimbingan kepada Allah sehingga kita tidak lagi tersesat dibelantara jalan tanpa arah dan dengan tenang kembali kepada asal kita masing-masing.

Rahasia tetaplah rahasia dan tetap akan menjadi rahasia sepanjang masa kecuali orang-orang yang telah berada dalam rahasia tersebut. Rahasia tersebut hanya bisa terbuka lewat Qalbu kepada Qalbu, ditransfer dengan teknik khusus yang diajarkan Rasulullah saw kepada para sahabat dan dari para sahabat kepada sekalian Guru Mursyid sampai saat sekarang ini. Rahasia itu tidak akan pernah bisa ditembus kecuali oleh orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah SWT. Semoga Allah yang Maha Pemurah selalu berkenan membuka hijab-Nya sehingga kita bisa memandang keindahan wajah-Nya dari dunia sampai akhirat., Amin ya Rabbal ‘Alamin!

========================

Tasawuf Tanpa Tarekat (1)

Tulisan yang terbagi menjadi 4 bagian ini saya tulis untuk menjawab pertanyaan dari beberapa orang pembaca baik yang dikirim melalui email saya (sufimuda@gmail.com) maupun lewat komentar di blog. Pertanyaanya apakah tasawuf harus mengamalkan tarekat bagaimana kalau ilmu tasawuf tanpa terekat?

Disudut kanan blog ini saya membuat sebuah poling tentang ini dengan pertanyaan yang sama, “Apakah Belajar Tasawuf Harus Dibimbing Guru Mursyid?”. Hasilnya (17 Maret 2012) dari  6.898 orang yang ikut poling sebanyak 6.286 atau 91,13% memberikan jawaban YA,  353 orang atau 5,12 % memberikan jawaban TIDAK dan sisanya 259 orang atau 3,75% memberikan jawaban TIDAK TAHU.

Dari hasil poling tersebut memberikan gambaran bahwa sebagian besar pembaca sufimuda adalah orang yang setuju bahwa untuk belajar tasawuf harus ada pembimbing yaitu Guru Mursyid artinya sebagian besar pembaca disini adalah orang-orang yang telah menemukan Guru Mursyid atau paling tidak dari referensi yang pernah dibaca memberikan keyakinan kepadanya bahwa dalam mengamalkan tasawuf harus menekuni tarekat dimana Guru Mursyid adalah pemimpin yang selalu menuntun dan membimbing para murid dalam setiap amal-amal zikir dengan demikian para murid akan terhindar dari kesalahan.

Tarekat di dalam ilmu Tasawuf ibarat sebuah bengkel tempat orang-orang mempraktekkan apa yang menjadi teori di dalam ilmu Tasawuf sehingga dihasilkan suatu produk seperti yang tertulis dalam kitab-kitab Tasawuf. Tarekat di dalam Tasawuf juga ibarat sebuah laboratorium tempat orang-orang yang mempelajari teori tasawuf mempraktekkan ilmunya dibawah bimbingan orang yang telah ahli di bidangnya sehingga ketika dia keluar dari laboratorium bisa meng-aplikasikan ilmunya ke dalam kehidupan sehari-hari dengan demikian akan memberikan manfaat kepada dirinya, keluarga dan lingkungannya.

Di Laboratorium bernama Tarekat itu, para murid mempraktekkan segala ilmu yang menjadi teori dalam tasawuf, lewat zikir dan ubudiyah, dimulai dengan taubat kemudian berlanjut kejenjang berikutnya sehingga apa yang disebut Ikhlas, Ridha, Kauf, Mahabbah dan lain-lain tidak sekedar menjadi tulisan saja akan tetapi telah merasuk kedalam hati sanubarinya dan akan dibawa kemana saja.

Ibarat sebuah bengkel, seperti umumnya bengkel lain seringkali apa yang dipraktekkan disana tidak seindah dan semudah dalam teori dan seringkali sekilas seperti bertentangan dengan teori. Misalnya teori membuat mobil, di dalam kitab mobil dijelaskan tentang cara membuat mobil dan kalau kita hanya membaca teori satu malam akan siap akan tetapi jika dipraktekkan di bengkel memerlukan waktu berbulan bulan barulah bisa menghasilkan sebuah mobil. Disinilah diperlukan kesabaran dan ketekunan dari murid untuk bisa menghasilkan karya terbaik dan tentu saja harus mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Sang Ahli. Murid yang baik tidak akan berdebat dengan Sang Ahli tentang teori-teori akan tetapi dia mengikuti dengan penuh keyakinan apa yang diperintahkan oleh Sang Ahli tanpa membantah sedikitpun.

Antara teori dan praktek perbedaannya jauh bahkan sangat jauh, kalau sepintas lalu dilihat aktifitas dalam bengkel seolah-olah bertentangan dengan  aturan dalam Kitab Induk Mobil, yang kita dengar adalah kebisikan, suara palu, percikan api dan orang-orang yang terkesan tidak ramah karena sibuk dengan urusannya masing-masing. Orang yang pertama sekali masuk ke bengkel pasti heran tidak jarang langsung menolak apa yang ada dalam bengkel, ada yang bertahan di hari pertama, minggu pertama bahkan ada yang sudah satu bulan kemudian menyerah dan menyatakan apa yang dilakukan di dalam bengkel adalah sia-sia bahkan dia menyalahkan dengan mengatakan apa yang dilakukan di dalam bengkel tidak sesuai dengan petunjuk KITAB SUCI MOBIL.

Di dalam teori membuat mobil tidak disinggung sama sekali tentang percikan api, kebisingan, orang-orang yang kurang peduli terhadap lingkungan sekitar (karena fokus kepada tugas masing-masing) sehingga siapapun yang pertama sekali masuk ke dalam bengkel akan terasa asing.

Pengalaman Saya di Tarekat

Begitu juga pengalaman saya ketika pertama sekali masuk ke Bengkel Tasawuf bernama Tarekat, saya heran dan menolak semua kegiatan-kegiatan disana. Saya dari kecil di didik di lingkungan Muhammadiyah tentu terkejut ketika harus menghadirkan Mursyid  ketika berzikir, bukankah zikir yang ada dalam tasawuf itu bertujuan untuk mencapai ketenangan dan kedamaian dalam rangka menggapai ridha Allah, lalu kenapa mesti diganggu dengan harus menghadirkan sosok manusia bernama Mursyid?

Belum lagi harus membaca Kaifiyat (tata cara zikir) yang isinya menurut saya tidak sesuai dengan apa yang pernah saya baca dan pelajari. Kenapa mengucapkan Istighfar harus dihadapan Mursyid atau diiktikadkan ada dihadapan Mursyid, kenapa harus minta Syafaat (pertolongan) Guru Mursyid dan seterusnya. Belum lagi sikap orang-orang di Tarekat yang selalu menganggap Gurunya paling hebat, bukankah kedudukan manusia di mata Allah itu sama? Kenapa Guru Mursyid harus diposisikan terlalu tinggi?

Selama 3 bulan terjadi pergolakan dalam diri saya dan hampir saja saya angkat kaki dari Surau tempat saya belajar terekat. Kegiatan rutin di surau adalah tawajuh (zikir bersama) setiap malam Selasa dan malam Jum’at dan hari Minggu diadakan Khatam Tawajuh ba’da Asar. Kawan yang mengajak saya masuk tarekat adalah kawan satu kampus dan dia begitu semangat setiap ada kegiatan surau baik tawajuh rutin, khatam tawajuh maupun acara-acara lain selalu menjemput saya di tempat kost. Pernah suatu malam ketika saya sudah mulai ragu dengan tarekat berniat tidak ikut tawajuh dan dengan diam-diam keluar dari kamar kost dengan tujuan kalau kawan yang ngajak saya masuk tarekat datang tidak jumpa sehingga saya tidak ikut tawajuh. Kebetulan ketika keluar dari kamar kost dan ingin kunci pintu, kawan saya seperti biasa datang dengan sepeda motor tua memakai jas hujan (kebetulan sedang hujan) dan dia mengajak saya ikut tawajuh. Saya lihat wajah dia jadi kasihan juga, akhirnya malam itu saya ikut lagi tawajuh dengan hati seper empat ikhlas.

Setelah 3 bulan saya menekuni tarekat kemudian saya mengalami pengalaman-pengalaman ajaib yang belum pernah saya alami sebelumnya. Pengalaman-pengalaman tersebut tidak saya ceritakan disini dan intinya di hati saya diberi sebuah keyakinan oleh Allah bahwa kalau bukan ini sebuah kebenaran tidak mungkin saya mengalami hal-hal seperti itu.

6 bulan kemudian saya mengikuti Suluk/Iktikaf di Surau Guru saya yang jaraknya satu malam naik bus dari surau tempat saya masuk tarekat, setelah itulah saya meyakini 100% bahwa yang saya jalani ini adalah benar. Pengalaman dalam suluk sulit diceritakan lewat kata dan tulisan dan saya merasakan bahwa saya sedang melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW. Saya rajin berzikir dan jika ada hal-hal yang tidak saya ketahui, saya memberikan sedekah kepada Guru dan semua pertanyaan-pertanyaan yang berat sekalipun saya menemukan jawaban baik langsung dari Guru maupun lewat kawan-kawan seperguruan bahkan jawaban itu datang dari orang luar. Saya mendapat apa yang disebut sebagai salah satu jaminan bagi orang berzikir yaitu Mendapat ilmu langsung dari Allah yang sering disebut ilmu Laduni dimana Allah sendiri yang akan mengajarkan kita.

Di tahun pertama saya menekuni tarekat, banyak sekali hambatan dan rintangan mulai dari masalah fisik sampai kepada masalah finansial. Menjelang Suluk pertama saya mengalami sakit berat, diare selama 3 hari 3 malam tanpa henti dan tidak sembuh walaupun sudah ke dokter dan minum obat dan nyaris saya merasakan mati. Ketika saya akan berangkat suluk kembali bisikan-bisakan was-was datang ke dalam hati. Selalu ada bisikan yang mengatakan bahwa apa yang saya ikuti adalah salah dan sesat. Tapi syukur Alhamdulillah Allah masih berkenan membimbing dan menuntun saya sehingga kemudian baru saya sadari bahwa Guru saya adalah seorang Wali Allah, sosok yang saya cari sejak kecil.

Tasawuf Tanpa Tarekat (2)

Auliya Allah (Wali Allah) sosok yang saya Idolakan sejak kecil

Saya lahir dan besar di desa, dari kecil Nenek saya cerita bahwa di gunung yang ada di desa saya itu tinggal Aulia Allah (Wali Allah). Ketika akan datang musim menanam padi, dipuncak gunung Auliya  Allah akan mengibarkan bendera putih tanda mulai musim menanam padi dan kalau bendera itu sudah dinaikkan maka biasanya hasil padi akan baik dan tidak pernah mengalami gagal panen. Nenek saya juga cerita bahwa Auliya Allah tidak hari kerjanya hanya ibadah dan zikir saya dan saat itu saya tidak pernah menanyakan apa yang dimakan Auliya Allah di hutan, apakah mereka makan nasi atau makanan makanan lain. Bahkan saya meyakini bahwa Auliya Allah itu berbeda dengan manusia seperti kita, sosok gaib seperti malaikat itulah gambaran Auliaya Allah dalam pikiran saya.

Saya pernah bertanya kepada Nenek bagaimana cara berjumpa dengan Auliya Allah, nenek saya menjawab, “Auliya Allah adalah sosok manusia suci dan hanya orang-orang yang bersih, shalat tidak pernah tinggal dan selalu berbuat baik saja yang bisa berjumpa dengan Auliya Allah”. Kemudian saya bertanya lagi, “Apakah Nenek pernah berjumpa dengan Auliya Allah?”. Beliau menjawab, “Nenek pernah perjumpa sekali di dalam mimpi?”. Saya penasaran  dan bertanya lagi, “Bagaimana wajahnya Nek?”, Nenek saya menjawab, “Wajahnya indah, putih bersih bercahaya memakai surban dan memakai jubah putih”.

Saya semakin penasaran dan cerita ini pertama sekali saya dengar dari Nenek ketika saya berumur 6 tahun dan sejak itu saya tidak pernah meninggalkan shalat karena saya ingin sekali berjumpa dengan Auliya Allah. Minimal sekali seumur hidup saya harus pernah berjumpa dengan sosok misterius yang bernama Auliya Allah itu.

Setahun sebelum Nenek saya meninggal dunia, saya telah mengikuti amalan Tarekat dan kemudian baru saya sadari saya bukan hanya telah berjumpa dengan sosok idaman saya, sosok yang saya inginkan sejak kecil tapi saya bahkan diterima menjadi murid Beliau, menjadi murid Wali Allah!

Ketika Nenek saya meninggal dunia, saya telah mengikuti suluk sebanyak 3 kali. Saya masih ingat ketika pulang ke kampung, waktu itu nenek saya sakit berat dan tidak bisa makan dan minum sama sekali. Saya menceritakan kepada nenek saya bahwa saya telah diterima menjadi murid Auliya Allah. Nenek saya dengan setengah ragu dan dengan suara lirih menanyakan kepada saya bagaimana wajah Guru yang saya sebut Auliya Allah tersebut. Saya kemudian ceritakan ciri-ciri Guru saya secara lengkap kepada Beliau. Nampak Nenek saya terkejut dan Beliau mengatakan, “Seperti yang kamu ceritakan itulah Auliya Allah yang bernah datang dalam mimpi ketika nenek masih muda, persis sama!”. Akhirnya beliau dengan semangat mendengar cerita saya tentang kehebatan-kehebatan Guru saya dan anehnya nenek saya seperti mengenal dekat sosok yang saya ceritakan tersebut padahal belum pernah berjumpa secara langsung.

Di akhir hanyat, karena uzur, nenek saya sudah jarang ke masjid dan hanya shalat di rumah. Sehari sebelum meninggal dunia, Nenek saya meminta air dari Auliya Allah kepada saya. Nenek meyakini bahwa air zikir dari auliya Allah bisa menyembuhkan segala penyakit, melapangkan dada bahkan dapat mengusir setan. Apabila minum air dari Auliya Allah maka ketika meninggal akan didatangi oleh Auliya Allah. Saya memberikan air tawajuh yang saya bawa dari surau Guru saya ketika selesai suluk dan Beliau meminumnya. Ketika meninggal dunia, saya berada di kepala Beliau, tidak ada keluh kesah, tidak ada kegundahan di wajah Beliau, ketika meninggal Beliau memandang lurus  dan tersenyum seperti melihat seseorang. Getaran di badan saya juga merasakan kehadiran Guru saya, Auliya Allah yang menjadi idola nenek saya. Beliau meninggal tersenyum dengan menyebut nama Allah. Semua yang hadir heran dan penasaran akan kematian nenek saya yang baik tersebut, meninggal dengan tersenyum dan menyebut nama Allah padahal nenek saya bukan seorang yang ahli ibadah, beribadah hanya sekedar kewajiban saja. Keyakinan akan Auliya Allah sebagai sosok ajaib yang dekat dengan Allah itu yang memberikan semangat kepada Nenek dan akhirnya walaupun tidak pernah berguru kepada Auliya Allah, syafaat sang Auliya Allah mengalir kepada Beliau. Saya selalu berdoa kepada Allah agar memberikan ampunan kepada nenek saya, dan semoga Allah berkenan menerima beliau disisi-Nya.

Tasawuf Tanpa Tarekat (3)

Tasawuf Tanpa Tarekat = Teori

Tasawuf dari sekian banyak definisi bisa kita persingkat menjadi akhlak yang baik, dengan melaksanakan tasawuf maka akhlak manusia ikut menjadi baik. Rasulullah SAW sebagai teladan kita semua memberikan contoh akhlak yang baik dalam kehidupan Beliau, “Sungguh pada diri Rasulullah terdapat Akhlakul Karimah (akhlak yang baik)”. Dengan membaca karya-karya Tasawuf yang ditulis baik oleh Guru Sufi maupun orang-orang yang ahli tentang tasawuf secara teori mungkin bisa saja membuat perilaku kita berubah, suka menolong orang, rajin beribadah dan sabar dalam segala hal, akan tetapi perubahan itu tidak bersifat permanen tapi hanya sementara, selagi kita membaca dan mengingat apa yang ditulis dalam buku tasawuf saat itu kita menjadi baik namun ketika kita lupa maka semuanya akan kembali seperti semula. Akhlak manusia tidak bisa diubah hanya dengan membaca dan mempelajari buku saja. Rasulullah SAW mengubah akhlak manusia dengan menanamkan “Kalimah Allah” ke dalam qalbu para sahabatnya, membersihkan hati dengan zikir sehingga perubahan akhlak para sahabat bukan berasal dari luar akan tetapi berasal dari dalam dan itu bersifat permanen.

Kunci belajar tasawuf secara praktek lewat amal zikir dalam tarekat tergantung dari kualitas Mursyid yang membimbingnya. Seorang Guru Mursyid haruslah berkualitas Wali Allah yang bisa membimbing muridnya 24 jam dimana saja dan kapan saja. Seorang Profesor Tasawuf yang sangat mahir tentang ilmu tasawuf belum tentu bisa menjadi seorang Guru Mursyid. Kalau anda ingin mempelajari tasawuf secara teori, anda bisa membaca buku-buku tasawuf sebagaimana yang saya lakukan dulu sebelum mengenal tarekat atau lebih serius anda bisa kuliah di IAIN dengan mengambil jurusan Tasawuf di Fakultas Ushuluddin dan anda bisa melanjutkan ke jenjang S2 dan S2 baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ilmu yang anda dapat dibangku kuliah tersebut semua tergolong kepada ilmu Tasawuf secara teoritis. Apakah anda belajar Tasawuf Akhlak, Tasawuf Filsafat atau Tasawuf lain kesemua itu hanya mengisi akal pikiran anda tentang ilmu tasawuf.

Untuk bisa  mengaplikasikan ilmu-ilmu tersebut dalam bentuk nyata, dalam bentuk praktek maka diperlukan “bengkel” bernama Tarekat dibawah bimbingan montir ahli bernama “Mursyid”. Untuk bisa mempraktekkan ilmu dibengkel sebenarnya anda tidak harus menyelesaikan semua teori-teori tasawuf, bahkan orang yang tidak pernah membaca buku tasawufpun bisa mempraktekkannya dalam tarekat. Seorang yang sudah menjadi Sufi terkadang tidak menyadari dia sufi, tidak menyadari bahwa dia telah melewati semua maqam-maqam yang harus dilewati oleh para pencari Tuhan sebagaimana yang tertuang dalam kitab tasawuf. Karena kepatuhannya pada Guru Mursyid yang sangat ahli, tanpa disadari dia sudah sangat mahir mempraktekkan segala maca teori yang tertulis dalam buku.

Itulah sebabnya kenapa seringkali orang yang menekuni tarekat tanpa membaca buku tasawuf terkadang bingung dengan istilah-istilah tasawuf dan kalau kita jelaskan dengan detail makna dari istilah itu dia langsung paham dan tersenyum dan dia menganggap hal tersebut biasa-biasa saja karena sudah sering dilakukan.

Dalam praktek terkadang apa yang menjadi hal rumit secara terori akan menjadi mudah dan sederhana bahkan sangat mudah karena memang dibimbing oleh Sang Ahli, saya mengambil contoh sederhana, dalam pengajian yang dilaksanakan oleh lambaga Tasawuf Tauhid yang membahas tasawuf secara teori, ketika membahasa masalah UBUDIYAH, diperlukan waktu lama dengan berbagai dalil baik Al-Qur’an, Al-Hadist maupun ucapan-ucapan para ulama untuk menerangkan makna dari ubdiyah tersebut. Saya pernah mengikuti pengajian seperti itu dan saya yang sudah menekuni tarekatpun bukan tembah terang dan jelas akan tetapi bertambah bingung dengan teori-teori tersebut. Dalam prakteknya Ubudiyah atau menghambakan diri kepada Allah itu tidak sesulit dan serumit dalam teori. Guru saya, ketika ada orang ingin berubudiyah atau mengetahui makna ubidyah, maka Beliau cukup mewakilkan dengan satu kalimat, “Ambil cangkul dan cangkul tanah itu”, atau kalau sedang pembangunan Mesjid beliau cuma berkata, “Kalau kamu bisa aduk semen, silahkan aduk semen, itulah ubudiyahmu kepada Allah”. Singkat, jelas dan sederhana namun bagi yang melakukan bukan hanya memahami tapi juga merasakan karena telah mempraktekkan langsung makna ubidiyah tersebut.

Bisa jadi makna ubdiyah tidak langsung didapat dalam sehari hanya dengan sekali cangkul, mungkin seminggu, sebulan atau setahun baru dia memahami hakikat dari Ubudiyah. Barulah dia akan paham bagaimana posisi hamba dan bagai mana posisi Allah dalam kesehariannya. Karena ilmu praktek maka akan tunduk pada aturan-aturan dan hukum alam yang sudah berlaku. Kalau menanam bayam harus menunggu 21 hari, walaupun dipaksa tidak akan mungkin bisa panen dalam 1 hari. Begitu juga ilmu tasawuf yang dipraktekkan lewat tarekat, diperlukan kesabaran untuk bisa mencapai hasil-hasilnya. Hasil yang dimaksud adalah mencapai tahap Makrifatullah, mengenal Allah dengan sebenarnya.

Seringkali orang yang tidak berhasil dalam tarekat bukan karena dia tidak sungguh-sungguh, akan tetapi tidak sabar di dalam perjalanannya. Seperti Nabi Musa yang berguru kepada Nabi Khidir, diperlukan kesungguhan dan kesabaran sehingga bisa selamat sampai ke tempat tujuan.

Tarekat berasal dari kata Thariqatullah artinya jalan kepada Allah, memerlukan proses, kesungguhan dan keyakinan penuh bagi si pejalan agar sampai kepada tempat tujuan. Dan yang lebih penting lagi diperlukan pembimbing sebagai sahabat rohani yang senantiasa memberikan petunjuk dan arahan agar tidak tersesat di jalan. Tasawuf yang tidak disertai tarekat tidak menghasilkan apa-apa selain hanya berupa teori semata. Tidak ada bedanya dengan orang belajar fiqih, belajar syariat yang semula adalah ilmu hakikat karena tidak ada pembimbing akan menjadi ilmu syariat, berupa teori semata.

Lebih berbahaya lagi orang mempraktekkan ilmu zikir dalam tasawuf tapi tanpa memiliki Mursyid, hanya berdasarkan apa yang tertulis dalam buku kemudian dipraktekkannya maka akan melahirkan kesesatan yang tanpa disadarinya. Istilah “kemasukan atau kerasukan wali” di datangi oleh Syekh Abdul Qadir Jailani atau Wali lain, berguru secara gaib kepada nabi Khidir atau berguru secara rohani kepada Wali Songo adalah istilah yang berasal dari orang yang mempraktekkan ilmu tanpa Guru Mursyid. Manusia suka cepat dan suka yang instan, tanpa harus zikir dan menuntut ilmu kepada Wali ingin langsung mencapai makrifat sehingga sekarang ada aliran Makrifat, langsung mencapai makrifat tanpa melalui tarekat dan hakekat. Apakah bisa mencapai makrifat langsung? Bisa! Inilah makrifat secara teori. Hakikat makrifat tidak bisa dipelajari lewat akal, ketika rohani kita diantar kehadirat Allah dan menyaksikan langsung SANG MAHA SEGALANYA disaat itulah kita mencapai tahap makrifat yang sebenarnya.

Tasawuf Tanpa Tarekat (Selesai)

Tentang Ziarah Ke Makam Wali/Ulama



Tasawuf adalah dunia rasa dan tidak akan pernah mengetahui tanpa merasakan dan tasawuf juga adalah dunia yang sangat halus, laksana rambut dibelah tujuh, tanpa kehati-hatian bukan Makrifat sebagai puncak tauhid yang didapat akan tetapi malah terjebak dalam kemusyrikan. Para Wali dan Sufi sudah menjadi tradisi mengunjungi makam Wali untuk mengambil berkah dan untuk mendapat petunjuk, petunjuk dan berkah hanya akan didapat kalau memenuhi rukun syaratnya. Kenapa wali atau sufi mengunjungi makam wali karena keduanya mempunyai ikatan atau ada hubungan, apakah hubungan berguru langsung atau makam tersebut salah seorang yang tercantum dalam jalur keguruannya. Sedangkan orang awam, ikut-ikutan mendatangi makam wali tanpa mempunyai ikatan apa-apa bahkan ada yang tanpa mengetahui itu makam wali atau tidak membuat sesajian atau persembahan yang mengarah kepada Musyrik. Praktek-praktek perdukunan karena berhubungan dengan gaib dihubungkan dengan tasawuf yang merupakan mistik Islam yang berhubungan juga dengan gaib. Banyak orang mencampur adukkan yang HAQ dengan yang BATHIL sehingga bukan berkah yang di dapat tapi bala!

Saya misalnya, kalau ke Surabaya tidak pernah singgah ke makam Sunan Ampel, kenapa? Karena saya tidak kenal dengan sunan ampel dan jalur keguruan yang saya tekuni tidak tersambung kepada sunan Ampel. Guru saya bukan salah seorang murid dari Sunan Ampel begitu juga guru dari Guru saya. Kalau saya berada di kota Banda Aceh, saya tidak akan mengunjungi makam Syekh Abdurrauf As-Singkily yang dikenal dengan Syiah Kuala, kenapa? Karena saya tidak mengenal Beliau. Berbeda dengan orang-orang dari Sumatera Barat murid dari Syekh Burhanuddin Ulakan atau para pengamal tarekat Syattariyah yang diajarkan oleh Syekh Burhanuddin, mereka sering berziarah kepada kuburan Syiah Kuala karena Guru mereka Syekh Burhanuddin adalah murid langsung dari Syiah Kuala sehingga keduanya punya hubungan langsung.

Kalau nanti saya berziarah ke makam Syiah Kuala, kemudian ada yang berjubah putih datang mengaku sebagai syiah kuala dan memberikan petunjuk kepada saya, dari mana saya tahu kalau yang datang itu benar-benar Syiah Kuala atau hanya setan yang mengaku sebagai Syiah Kuala?

Inilah yang menjadi cikal bakal kesatan dalam Tasawuf yang sering di kritik oleh orang-orang syariat yang anti tasawuf. Kalau saya suatu saat ke Kazastan di daerah makam Syekh Bahauddin Naqsyabandi, mungkin saya akan berziarah ke makam Beliau karena memang masih ada hubungan tali silsilah, dan itupun harus dengan izin dari Guru saya, izin secara zahir maupun lewat kontak rohani sehingga dengan berkat doa Guru saya akan tersambung secara rohani kepada Syekh Bahauddin dengan demikian saya benar-benar akan mendapatkan berkah dari ziarah tersebut.

Lalu bagaimana dengan masyarakat umum yang datang ke kuburan wali untuk mendapat berkah? Menurut saya itu tidak salah, jangankan kuburan wali, kuburan orang tua kita yang bukan wali saja harus kita ziarahi. Banyak pelajaran yang bisa didapat dengan berziarah ke kuburan ulama, disamping mengingat akan mati juga untuk mengenang kembali perjuangan ulama dalam menegakkan agama ini dan juga menjadi contoh teladan yang baik akan akhlak ulama mudah-mudahan akan memberikan semangat kepada kita untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, mengunjungi kuburan wali tidak berarti anda menjadi seorang Sufi tapi itu tradisi yang dilakukan oleh para wali atau sufi terhadap Makam Guru mereka atau Makam Para Guru yang tersambung dalam jalur silsilah mereka.



Kesimpulan

Kesimpulan saya, siapapun ingin serius merasakan indahnya dunia tasawuf, merasakan kelezatan berjumpa dengan Allah, ketenangan bathin dan pencerahan jiwa jangan sekedar ikut-ikutan tradisi yang berlaku di tengah masyarakat walaupun itu benar tetapi harus menekuni Tarekat, harus menempuh jalan kesana dibawah bimbingan Guru Mursyid agar tidak tersesat di tengah jalan. Disamping untuk memperbaiki akhlak, yang lebih penting adalah bagaimana kita berkomunikasi dengan benar dengan Allah, mengenalnya dengan sebenar kenal sehingga kita tidak salah menyembah. Ketika kita telah mengenal Allah dengan benar, barulah kita bisa mencintai-Nya dengan benar pula. Cara paling aman dan paling mudah untuk bisa berjumpa dengan Allah adalah dengan bimbingan orang yang telah pernah dan sering berjumpa Allah, mereka itu tidak lain adalah Wali Allah (Kekasih Allah).

Demikian!

====================